Ada perbedaan sudut pandang terkait kalimat Presiden pertama RI Soekarno yang menyebut; “Bapakku adalah Keturunan Sultan Kerajaan Kediri” sebagaimana tertuang dalam buku ‘Penyambung Lidah Rakyat’. Ada yang berpandangan kalimat itu menunjuk keberadaan ayah angkatnya di Situs nDalem Pojok, Kediri. Namun, pandangan lain justru menyebut kalimat itu dikatakan Soekarno untuk menangkis serangan Belanda yang memfitnahnya anak hasil perselingkuhan. Simak diskusi ‘Membongkar Kotak Sejarah Bung Karno di Kediri’ berikut ini.
ADA sejumlah perspektif membahas kalimat Bung Karno ‘Bapakku adalah Keturunan Sultan Kerajaan Kediri’ yang tertuang dalam halaman 23 buku ‘Penyambung Lidah Rakyat’ karya Cindy Adam, dalam diskusi Peringatan Hari Lahir Bung Karno yang dimoderatori Ari Hakim dari Kampung Inggris, di Situs nDalem Pojok pada Sabtu, 6 Juni 2020.
Dalam diskusi bertajuk; ‘Membongkar Kotak Sejarah Bung Karno di Kediri’ ini ada yang meyakini frase ‘keturunan Sultan Kediri’ itu mengacu pada ayah angkat Sang Proklamator: bernama RM Soemosewojo yang tinggal di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri.
Namun, pemateri lain justru mengungkap konteks penyebutan keturunan Sultan Kerajaan Kediri itu bukan mengacu pada makna silsilah sesungguhnya. Namun, upaya Sang Proklamator menangkis serangan fitnah Belanda silsilah Bung Karno. Berbeda dari dua perspektif itu, ada pemateri berpandangan ungkapan itu tak lain sinkretisme Jawa ala Bung Karno.
Kediri tak pernah ada kesultanan. Ada kerajaan Kediri atau Panjalu yang berdiri pada 1042 – 1222 M. Lalu, siapa Sultan Kediri yang dimaksud Sang Proklamator ?
Adalah Dian Sukarno, pemateri yang menyebut secara tegas kalimat “Bapakku adalah Keturunan Sultan Kerajaan Kediri” itu merupakan isyarat atas pengakuan Bung Karno pada ayah angkatnya, RM Soemosewojo yang bermukim di nDalem Pojok, Wates Kediri.
Dian, jurnalis dan sejarawan asal Jombang ini merupakan penulis buku Trilogi Spiritualitas Bung Karno yang menguak keterkaitan masa kecil Bung Karno dengan nDalem Pojok.
Dia justru menilai kalimat yang disampaikan oleh Bung Karno itu merupakan kata kunci untuk menguak kotak pandora sejarah masa kecilnya di Kediri.
“Ternyata, nDalem Pojok diwariskan oleh Patih Pakubuwono IX, RMP Soemohatmodjo pada putra pertama RM Surati Soemosewodjo ayah angkat Bung Karno dan putra terakhir RM Sayid Soemodihardjo yang menjadi kepala rumah tangga Istana Kepresiden Gedung Agung di Yogyakarta. Oo.. ini yang dimaksud bahwa ‘Bapak saya keturunan Sultan Kediri,” paparnya.
Dian mengaku, ada pro kontra dari hasil kesimpulannya yang dituliskannya dalam buku pertama Trilogi berjudul: ‘Candradimuka’. Bahkan, ada eks peneliti LIPI yang menyebutnya ngawur. Demikian juga seorang sejarawan asal Jawa Timur yang meragukan sejarah Bung Karno di Kediri, namun belakangan akhirnya menerima.
“Ternyata ke-ngeyelan saya untuk menulis Candradimuka itu menguatkan bahwa clue kata kuncinya Bung Karno di buku Cindy Adam, bahwa benar bapak saya keturunan kesultanan Kediri. Saya mengulas ulang, bukan di Kediri ada kesultanan. Tapi, di lereng Kelud tepatnya di nDalem Pojok, Wates, rumah RMP Soemoatmodjo, di mana beliau (Bung Karno-Red) pernah bermukim,” jelas Dian.
Dian telah menuliskan tiga buku; Trilogi Spiritualitas Bung Karno, juga mencakup sejarah di Ndalem Pojok. Dua buku sudah diterbitkan; ‘Candradimuka’ dan ‘Pulung Kepresidenan’. Sementara, satu buku hendak di-launching; ‘Pamor Surut’.
Sementara, Fachris, pegiat sejarah Kediri mengupas dari sudut pandang yang berbeda. Menurut dia, makna ‘Bapak saya keturunan Sultan Kediri’ itu harus dipahami konteks-nya. Ada sebab akibat kenapa Bung Karno menyampaikan itu. Kalimat itu muncul karena Presiden pertama itu tidak terima disebut media Belanda sebagai anak hasil perselingkuhan.
Mengapa Bung Karno menyebut itu, lanjut dia, jawabannya ada di awal-awal Buku Cindy Adam. Soekarno menyampaikan di Belanda, ada yang menyebut Soekarno anak campuran Belanda dan Pribumi.
“Radio Belanda menyebarkan fitnah. Soekarno bukanlah orang Jawa, itu di buku Cindy Adam. Soekarno anak campuran Belanda pribumi. Tuan tanah perkebunan kopi yang menghamili buruh pribumi,” papar Fachris menerangkan paparan Soekarno dalam buku ‘Penyambung Lidah Rakyat’.
“Gara-gara itulah, Bung Karno pada halaman berikutnya menyampaikan siapa yang bilang. Ibu saya keturunan Brahmana Bali, dan nenek dari neneknya bapak itu putri dari prajurit Diponegoro,” tambahnya.
Dalam buku Cindy Adam, Soekarno menyampaikan sedikit silsilah keturunannya. Jika dirunut dari ibu, menurut dia, Bung Karno menyampaikan sang ibundanya Ida Ayu Nyoman Rai merupakan keturunan Brahmana, atau Bangsawan. Sementara itu, “Bung Karno juga menyampaikan neneknya nenek bapak Raden Soekeni Sosrodihardjo setingkat putri yang ikut dalam perang Diponegoro,”” kata Fachris.
Selain itu, Fachris juga menyampaikan, kakek Bung Karno, Hardjodikromo adalah cicit dari Sultan Hamengkubuwono II.
Sedangkan Ibnu Syifa, aktifis pemuda menyampaikan, paparan Soekarno yang menyebut keturunan darah biru merupakan pembuktian, dia bisa sejajar dengan kaum aristrokat meski dirinya dipinggirkan. Misalnya, dia bisa sekolah yang kala itu hanya bisa dinikmati oleh kaum kolonial dan kaum aristokrat. “Tapi, Soekarno menghilangkan detail-detail aristokrasi, Soekarno merupakan representasi murni perilaku masyarakat Jawa yang disebut dengan sinkretisme,” katanya.
Sinkretisme ala Soekarno menunjukkan jika Sang Proklamator ini merupakan sosok Jawa yang kental, namun terbuka terhadap hal-hal baru. “Jadi, ketika saya membaca tulisan Cindy Adam dari wawancara itu saya nggak kaget. Kenapa? Karena Soekarno sangat pintar mempraktekkan etika Jawa melalui Sinkretisme itu. Dia membuka diri untuk masuknya hal-hal baru, dengan syarat orang Jawa menyertakan dirinya,” tambahnya.
Terlepas dari debatable apakah “Bapakku adalah Keturunan Sultan Kerajaan Kediri” memang menunjuk Soemosewodjo dari Kediri atau bukan. Namun, kisah Bung Karno dengan Soemosewojo di Situs nDalem Pojok, Desa Pojok, Kecamatan Wates ini telah diakui oleh keluarga Bung Karno. Yayasan Bung Karno yang terdiri dari keluarga besar Bung Karno telah meresmikan Situs nDalem Pojok sebagai Persada Soekaerno Yayasan Bung Karno, pada 28 Oktober 2015.
Dengan demikian, keluarga Bung Karno mengakui, kebenaran kisah-kisah Soekarno di nDalem Pojok. Di antaranya; kamar tempat pergantian nama Koesno menjadi Soekarno saat berusia 2 tahun, kamar singgah masa remaja, Bung Karno juga sempat terjatuh sehingga keningnya terluka setelah itu Bung Karno menggunakan topi miring untuk menutupi bekas lukanya. Dan, masih banyak kisah Bung Karno di Kediri yang banyak dikupas dalam buku ‘Candradimuka’ serta ‘Pulung Kepresidenan’ karya Dian Sukarno. (dan)
Komentar