Arca Tothok Kerot diperkirakan semasa dengan keberadaan Kerajaan Kediri. Merupakan arca Dwarapala yang lazimnya sepasang dan berjaga di pintu gerbang.
kediriapik.com – Arca Tothok Kerot terletak di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tak jauh dari Monumen Simpang Lima Gumul (SLG). Sekitar 2 kilometer sebelah utara SLG.
Arca Tothok Kerot ini diperkirakan semasa dengan keberadaan Kerajaan Kadiri (1042-1222 Masehi). Arca ini dipahat pada batu monolith berbahan andesit yang cukup masif.
Tothok Kerot secara arkeologis disebut Dwarapala (guardian statue). Keberadaan Arca Dwarapala merupakan bagian dari sebuah bangunan. Arca ini ditempatkan mengapit pintu gerbang dan biasanya berjumlah 2 arca atau sepasang.
Secara Ikonografi, Dwarapala digambarkan sebagai sosok raksasa laki-laki menyeramkan dengan sikap siaga (jongkok, jengkeng atau berdiri). Atribut yang disandangnya antara lain; senjata (berupa gada/pedang/ular), upawita, kelat bahu, gelang kaki dengan rambut panjang yang diurai kebelakang. Ragam Hias pada arca Tothok Kerot dominan menggunakan ragam hias tengkorak.
Pada konsep mitologis, sesuai dengan namanya sebagai arca penjaga, Dwarapala memiliki fungsi menjaga sebuah bangunan/tempat tersebut dari maksud-maksud jahat yang datang dari luar (tolak bala).
Legenda Wadalwerdi, Putri Lodaya yang Jatuh Cinta pada Jayabaya
Arca Tothok Kerot ini banyak dikaitkan dengan legenda Dewi Wadalwerdi, seorang putri raja yang jatuh cinta pada Raja Kediri Sri Mapanji Jayabaya Tustikarana.
Jayabaya memerintah Kediri dengan bijaksana sehingga Kerajaan Kediri selalu dalam keadaan gemah ripah lohjinawi dan masyarakat hidup secara aman, tentram dan damai. Istana Jayabaya terdapat di Dahanapura yakni ibukota Kediri kota yang berselimut api suci, kota aman, tentram dan damai.
Diceritakan bahwa di suatu tempat di selatan Kediri bernama Lodaya yang dipimpin oleh Ki Jenggolo Joyo, terdapatlah seorang putri bernama Dewi Nga’in yang terpikat kepada Jayabaya.
Putri ini adalah anak dari Adipati Lodaya yang terkenal sakti mandraguna. Pada perjalanan waktu, Dewi Nga’in meminta kepada ayahnya agar diturunkan ilmu jaya-kawijayan dan kesaktian kepadanya. Dan permintaan inipun dikabulkan oleh ayahandanya.
Dewi Nga’in yang telah memperoleh kesaktian ini menjadi sombong dan semena-mena. Dewi Nga’in akhirnya merubah namanya menjadi Dewi Wadalwerdi dan bermaksud melamar Sri Aji Jayabaya di Memenang.
Putri Wadalwerdi berangkat menuju keraton Kediri dan membuat keonaran di Memenang, Kediri. Karena kesaktiannya ini Wadalwerdi berhasil mengalahkan Prajurit Kediri dan mendekat di Keraton Kediri.
Mendekati gerbang istana Kediri, Putri Wadalwerdi kembali dikepung dan diserang prajurit-prajurit tangguh Kediri yang dipimpin langsung oleh Patih Kediri. Puluhan senjata digunakan untuk menyerang Wedalwedri.
Wedalwerdi menahan serangan-serangan pasukan Kediri ini dengan menahan napas sehingga giginya saling terantuk dan menimbulkan bunyi gemelitik (metothok kerot-kerot).
Dalam keadaan sedemikian rupa ini, datanglah Sri Aji Jayabaya yang murka karena mengetahui ada seseorang telah mengganggu ketentraman Warga Kediri. Sri Aji Jayabaya memberikan sabdanya kepada Wedalwerdi. Seketika Wadalwerdi berubah menjadi arca yang saat ini lebih dikenal sebagai Arca Tothok Kerot. (*)
sumber : Bidang Jakala Dinas Pariwsata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri dan Buku Cerita Rakyat Kediri.
Komentar