kediriapik.com – Banyak yang menyebut jika penggalian Pancasila dilakukan Soekarno pada saat masa pengasingan di Ende, Nusa Tenggara Timur berkisar tahun 1934 – 1938. Namun, berdasarkan pidato Bung Karno, sebenarnya Sang Founding Father menggali Pancasila, sebelum diasingkan ke Ende. Dasarnya adalah pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. ”Yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918…”
“Jika mencermati Pidato 1 Juni 1945, tempat awal penggalian Pancasila itu ternyata bukan di Ende. Sebab Bung Karno mengatakan sudah menggali sejak tahun 1918,” kata Kushartono, Ketua Harian Persada Sukarno.
Kushartono menduga , Soekarno menggali Pancasila di Kediri. Tepatnya dibawah Kepuh atau pohon Pronojiwo yang berada di pinggir sungai belakang Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri.
Hal tersebut disampaikan oleh Kushartono dalam diskusi yang diselenggarakan Rabu, 31 Mei 2023 malam di sekitar pohon Kepuh dengan tema. “Tempat Awal Soekarno Menggali Pancasila Ternyata bukan di Ende, Tapi di Kediri”. Diskusi dengan tiga narasumber. Pinandita Sunyoto tokoh agama Budha, Aris Syariati budayawan Kediri dan Kushartono (Ketua Harian Persada Sukarno Kediri) dan Ari Hakim sebagai moderator.
Pohon Kepuh ini merupakan tempat Bung Karno menyepi dan ditempa secara spiritual oleh ayah angkatnya RM Soemosewojo saat masih remaja. Karena itu, menurut dia, di Pohon Kepuh ini juga penempaan Bung Karno sebagai calon pemimpin besar serta penggalian nilai-nilai Pancasila. “Ada tujuh alasan yang menguatkan awal penggalian Pancasila ada di Kediri. Pertama tinjauan sejarah, kedua tempat sejarah, tiga silsilah, empat makna filosofi, lima ilmu botani, enam nama Pancasila, tujuh kesaksian keluarga dan cerita tutur,” ujar Kushartono.
Kushartono menyampaikan, jika semua fakta sejarah perihal awal mula penggalian Pancasila ini akan dibuktikan. Dia meyakini, ihwal awal mula penggalian Pancasila di pohon Kepuh ini pada akhirnya akan diyakini oleh masyarakat. Dia mencontohkan, upaya untuk mengungkap sejarah Bung Karno di Situs nDalem Pojok tidak mudah. “Perjuangan dari 2010, barulah 2015 Situs Ndalem Pojok diresmikan oleh Guruh Soekarno Putra. Dan tahun 2018 barulah pemerintah menetapkan sebagai bagunan cagar budaya. Begitu pula saat kita mengungkapkan sejarah munculnya nama Soekarno di Ndalem Pojok juga tidak mudah, setelah melalui proses kemudian mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari keluarga Bung Karno,” paparnya.
Keesokan hari setelah diskusi, beberapa komunitas, ormas dan tokoh lintas agama yang tergabung dalam Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia mengadakan napak tilas di Pohon Kepuh. “Lokasi napak tilas ini berupa pohon Kepuh besar yang rindang berada di pinggir sungai yang usianya sudah ratusan tahun,” ujar Jayandari Purnamawati panita tasyakkuran.
Pentingnya napak tilas ini, menurut Kushartono, agar generasi muda menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara. Sebab, hasil survei Setara Institute ada gajala-gejala generasi muda kurang memahami dan menjunjung tinggi Pancasila Dasar Negara.
“Belum lama ini ada survey yang dilakukan oleh Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti. Memang Pancasila bukan kitab suci agama, tapi kalau sampai Pancasila diganti akan roboh Negara Kesatuan Republik Indoesia. Ini menghawatirkan?,” tegas Kushartono.
Karena itu, dia berharap dengan adanya napak tilas, generasi muda akan sadar, tidaklah mudah merumuskan dasar negara. Jika dihitung dari tahun 1918 hingga 1945 Bung Karno menggali selama 27 tahun. “Dengan menyadari tidak mudah maka harapan selajutnya kita semua akan lebih menjaga dan melestarikan Pancasila,” tambah Kus.
Selain diskusi kebangsaan, rangkaian Tasyakkuran Hari Lahir Pancasila di Persada Sukarno Kediri dilengkapi dengan doa bersama lintas agama, selamatan, santunan anak yatim, napak tilas sejarah tempat penggalian Pancasila, outbond Kebangsaan dan pentas seni budaya. (*)
Komentar