Pakaian Khas Kediri Mengadopsi Berbagai Artefak Cagar Budaya

Komentar

Mengenal Pakaian Khas Kediri dan asal usul ragam hiasnya.

kediriapik.com – Seperti apa pakaian khas Kediri? Jika ingin melihat tampilan secara nyata, masyarakat bisa menengok kawasan kantor tempat beraktivitas pegawai Pemerintah Kabupaten Kediri, pada hari Kamis pada minggu pertama setiap bulan.

Nah, ketentuan itu pertama kali diberlakukan pada Kamis (2/3/2023). ASN dan PPPK tampak mengenakan pakaian khas: Wdihan Kadiri bagi pegawai laki-laki serta Ken Kadiri untuk pegawai perempuan.

Sejak Maret 2023, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kediri wajib mengenakan pakaian khas Kediri pada hari yang sudah ditentukan. 

Aturan pakaian khas Kadiri bagi ASN dan PPPK ini tertuang dalam SE Bupati Nomor OT.09_1/418.07/I/2023 tentang Pedoman Pakaian Dinas Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Kediri.

Sekda Mohammad Solikin mengungkapkan, pemberlakuan pakaian khas Kediri setelah uji coba selama dua bulan. “Sosialisasinya tahun lalu sudah, Januari dan Februari uji coba. Hari ini sudah wajib,” terang Solikin, Kamis (2/3/2023).

Melansir laporan hasil Jajian Pakaian Khas Kabupaten Kediri Kediri Wdihan Kadiri Satria ini didominasi warna merah. Terdiri dari iket Jayabhaya, Kalambi Dahanapura dengan hiasan dan sabuk khas. Serta kain jumlah lipatan 5 serta sandal selop hitam. 

Sementara, pakaian perempuan khas Kediri Ken Kadiri ditunjukkan dengan sanggul dengan hiasan rambut (padmagiri), baju perempuan didominasi warna merah tua dengan sejumlah ragam hias. Serta mengenakan kain lipatan kain 5, dengan sandal selop putri. 

Kajian Libatkan Pakar dari UN Malang dan BPNB Yogyakarta

Mengutip laporan Tim Kajian Pakaian Khas Kediri tahun 2021, pakaian khas ini digali melalui proses kajian akademis yang melibatkan; budayawan, akademisi dan praktisi budaya. Melalui uji FGD bersama Akademisi UN-Malang) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) di Yogyakarta.

Pakaian khas Kediri ini diciptakan berbasis pada budaya masyarakat pertanian. Dikombinasikan dengan ragam hias lidah api atau biasa kita sebut ragam hias “dahana”. Ragam yang banyak terdapat pada artefak-artefak cagar budaya peninggalan masa Kadiri.

Dahana memiliki tentang tekad dan semangat dalam membangun Kediri yang tak kunjung padam, sekaligus mengingatkan kita pada Dahana Pura, sebuah kota suci yang pernah menjadi pusat pemerintahan pada masa Kerajaan Kadiri.

Warna merah-putih, (bang klawan putih) didapat dari Prasasti Gunung Buthak (kudadu), menunjukkan adanya data sejarah tentang pemakaian warna merah dan putih pada bendera yang digunakan oleh Jayakatwang salah satu putra terbaik Kediri dalam upaya menundukkan Kertanegara, Raja Singhasari pada tahun 1292 Masehi.

Artefak Cagar Budaya yang Menjadi Inspirasi

Batik yang tampilkan dalam pakaian khas adalah batik berpola dasar “pagringsingan”, yang bermakna tolak bala. Motif batik Gringsing menurut penelitian G.P.Rouffaer, dalam “De Batik Kunst”, dipercaya telah lahir di Jawa pada abad ke-12. 

Motif ini digambarkan berdampingan dengan motif ceplok tunjung ijo dengan Lis-lisan sulur lidah api (pada bidang kanan-kiri) dan Lis-lisan meander dan tumpal (pada bidang bawah):

Ragam Hias Sulur dan Lidah Api banyak ditemui pada artefak cagar budaya masa Kadiri, diantaranya : Situs Adan-adan, Nambakan, Gua Selomangleng, Prasasti Brumbung dan Tangkilan, artefak Bogem, dsb.

Motif Ceplok Tunjung Ijo diperoleh dari data tekstual prasasti Gandakuti (964 S) dengan kalimat “Adodot Tunjung Ijo”. 

Meander secara fisik diterjemahkan sebagai adanya Sungai Brantas yang  memberikan berkah kesuburan pada tanah Kediri.

Tumpal berbentuk segitiga secara fisik diterjemahkan adanya 2 (dua) gunung  yang mengapit Kediri, yakni Gunung Kelud (Kampud/Acalapati) dan Gunung Wilis (Pawinihan).

“Asabuk Gringsing Panjalu”, adalah sabuk yang digunakan pada busana laki-laki yang menurut sumber tekstual Kidung Harsawijaya, dipercaya pernah digunakan oleh Jayakatwang, seorang Raja Kadiri pasca keruntuhan Singhasari.

Timangan pada sabuk ini memiliki ragam hias berupa gambar Ganesha Berdiri yang menurut beberapa peneliti, penggambaran Ganesha Berdiri berasal dari  Masa Kadiri sekaligus sebagai logo Pemerintah Kabupaten Kediri. Secara simbolis, Ganesha merupakan lambang dari ilmu pengetahuan dan keselamatan.

Iket (tutup kepala pada laki-laki) yang digunakan adalah “Iket Jayabhaya”,  sebuah iket yang diciptakan untuk menjunjung tinggi tokoh Jayabhaya sebagai Raja Besar Kediri, yang menyatukan Panjalu dan Jenggala pada tahun 1157.

Dhuwung Bethok Jalak Kediri, dengan warangka “Sandang Walikat Kediren”  adalah pusaka berjenis lurus, yang digunakan sebagai pelengkap pakaian khas laki-laki. Pusaka jenis ini merupakan tipe pusaka sepuh yang dipercaya telah ada sejak abad ke-12, pada masa Kerajaan Kadiri (Panjalu-Jenggala)

“Padmagiri” dan “walang sampir” merupakan asesoris pada pakaian perempuan;  padmagiri adalah asesoris rambut berupa mahkota warna emas berbentuk teratai yang bermakna menjunjung tinggi derajat dan nilai-nilai perempuan Kediri,  sedangkan “walang sampir” adalah selendang dengan makna simbolis yang menggambarkan keluwesan perempuan Kediri. (*)

Sumber : Tim Kajian Pakaian Khas Kediri tahun 2021

Penulis : Danu S

Tim Kediriapik
Berikutnya

Terkait Posting

Komentar