Mereka yang Dipaksa Absen Saat Pemilu Serentak 2024

Komentar

Siang itu, Sabtu, 9 Desember 2023, tidak seperti teman-temannya yang tengah menikmati akhir pekan, Ajeng Putri Utami justru termenung memikirkan pilihannya pada pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang. Maklum, momen ini akan jadi pemilu perdana baginya. 

Ajeng, sapaan akrab pemudi asal Palembang, Sumatera Selatan itu kini tengah menempuh pendidikan kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Perempuan berusia 21 tahun ini dipastikan tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya karena belum mengurus berkas pindah memilih sesuai domisili.

“Sebagai WNI, sudah pasti aku pengen milih pemimpin yang terbaik. Apalagi ini pengalaman pertamaku bisa memilih. Tapi karena sekarang aku masih belajar di Pare, dan kota kelahiranku jauh dari sini, jadi bingung,” ungkapnya.

Ajeng mengaku belum paham dengan sistem dan teknis perpindahan memilih jika ingin memberikan hak suaranya. Hanya bermodalkan membaca sedikit informasi di internet rupanya belum memberikan pengetahuan yang maksimal untuknya. Dia juga mengaku tak pernah mendapatkan sosialisasi perpindahan memilih atau pendidikan politik sama sekali.

“Setahuku harus mengurus surat dan berkas gitu ya. Tapi masih manual,” ucap Ajeng.

Ajeng Putri Utami, siswi Kampung Inggris yang masih bimbang hendak memilih atau tidak pada Pemilu 2024 (Foto: Inayah)

Ajeng Putri Utami, siswi Kampung Inggris yang masih bimbang hendak memilih atau tidak pada Pemilu 2024 (Foto: Inayah/kediriapik.com)

Untuk keluar sementara dari tempat belajar, Ajeng harus meminta izin dan mengurus surat tugas kepada lembaga. Hal ini tentunya dapat menguras waktu belajarnya.

“Ya kalau sekali ngurusin selesai. Kalau misal enggak? Kan harus bolak-balik dan ngurus izin berkali-kali. Jadi, kayaknya bakalan ribet. Makanya sampai sekarang aku masih ragu apakah akan memilih atau golput,” tegasnya. 

Golput merupakan singkatan golongan putih atau mereka yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada pemungutan suara. 

Pro Kontra Soal Pilihan Gen Z Pada Pemilu 2024

Berbeda dengan Ajeng, Wahyu Sidik, pemuda asal Sumatera Barat yang juga berada pada situasi belajar seperti Ajeng mengaku tidak akan memberikan hak pilihnya pada pesta demokrasi esok. Faktor teknis seperti letak geografis dan ribetnya administratif membuatnya memutuskan untuk menjadi golput.

Berbekal informasi melalui berita di ponsel pintarnya, Wahyu mengaku sangat awam soal teknis perpindahan lokasi memilih.

“Katanya harus ke PPS, ngurus banyak berkas. Itu kan makan banyak waktu ya. Gak affordable buat pelajar. Jadi milih golput aja,” ungkap pemuda berusia 23 tahun itu.

Kalau ini terjadi, Wahyu sudah dua kali golput. Pada pemilu 2019 lalu, ia juga sedang mengikuti bimbel di Bekasi. Meski kala itu, pengetahuannya tentang politik masih terlalu dangkal.

“Ya waktu itu emang gak tahu apa-apa. Kalau besok ini karena males ribet bolak-balik ngurus berkas, dan gak ada kendaraan, jadi saya milih golput lagi,” tegasnya.

Wahyu berharap, sistem pemilu di Indonesia bisa dipermudah agar orang-orang yang sedang menempuh pendidikan atau sedang bekerja di luar kota seperti dirinya dapat memberikan hak suaranya tanpa harus pulang ke kampung halaman.

“Mungkin sistemnya bisa di upgrade ya. Biar bisa ngurus perpindahan memilih secara online. Kayaknya angka golput bisa menurun kalau gitu,” ucapnya.

Suasana di Kampung Inggris, Pare (Foto: Inayah)

Suasana di Kampung Inggris, Pare (Foto: Inayah/kediriapik.com)

Perantau di lokasi pendidikan yang sama, Haylen Jenia (22) punya pandangan berbeda. Dia bakal tetap menggunakan hak pilihnya dan datang ke bilik suara. Baginya, satu suara sangat penting untuk menentukan pemimpin di masa depan.

“Pas waktu pemilu itu mungkin tanggal merah kan ya? Terus rumah saya juga gak terlalu jauh, cuma di Trenggalek. Dari Pare sekitar 2 sampai 3 jam, jadi nanti saya pasti pulang untuk nyoblos,” terang wanita yang kerap disapa Haylen tersebut.

Bagi Haylen dan sebagian pemilih muda di kampung Inggris yang rumahnya masih dalam radius 1 sampai 4 jam dari Pare, seperti di daerah sekitaran Jawa Timur, itu merupakan privilege.  Mereka tidak perlu mengajukan surat pindah memilih atau mengeluarkan ongkos transportasi yang mahal.

“Mungkin kalau rumah saya jauh kayak teman-teman yang dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagainya itu saya juga akan golput. Karena kan gak mungkin pulang,” kata Haylen.

Fenomena Golput yang Terus Melekat Pada Setiap Pemilu

Para pemilih muda di atas ini memang jadi sorotan banyak pihak. Apalagi kalau bukan karena representasinya dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilihan umum 2024. Dari sekitar 204 juta pemilih, sebanyak 46 juta pemilih atau sekitar 22,86 persen didominasi generasi Z, mereka yang lahir di antara tahun 1996-2000-an. 

Rata-rata pemilih pemula seperti gen Z yang mayoritas tengah menempuh pendidikan dan memulai karier di perantauan ini seakan terombang-ambing dengan keputusan yang akan diambil. 

Setidaknya itu terlihat dari hasil survei yang penulis lakukan pada 89 sampel dari 800 populasi anggota Brilliant English Course, Kampung Inggris, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Penulis menggunakan rumus Slovin dalam penentuan sampel.

Infografis pilihan Gen Z di kampung Inggris pada Pemilu 2024 (Inayah/kediriapik.com)

Infografis pilihan Gen Z di kampung Inggris pada Pemilu 2024 (Inayah/kediriapik.com)

Hasilnya, 50 orang atau lebih dari setengah responden memutuskan untuk tidak ikut memilih dalam pemilu kali ini. Mereka beralasan, hal teknis pengajuan surat pindah memilih dan lokasi domisili sesuai DPT-nya cukup jauh dari tempat mereka belajar saat ini. Alasan lainnya adalah kurangnya sosialisasi soal tata cara mengajukan perpindahan memilih. 

Hanya ada 21,3 persen atau 19 responden saja yang menyatakan bakal menggunakan hak suaranya. Mereka beralasan, penggunaan hak suara itu penting bagi proses demokrasi. Mereka tercatat dalam DPT yang lokasinya masih ada di Provinsi Jawa Timur. Tidak terlalu jauh dari tempat belajarnya.

Sisanya, sebanyak 20 orang atau 22,5% mengaku masih ragu untuk memilih. Alasannya beragam. Mulai dari isu administratif, rumah yang jauh, tidak terpapar literasi politik, serta tidak memahami teknis pengajuan surat pindah memilih. 

Istilah golput sendiri muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan dan cenderung diinjak-injak.

Eep Saefulloh Fatah, CEO Polmark Indonesia–lembaga survei dan jasa konsultasi politik yang kerap disewa peserta pemilu– mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).

Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.

Berangkat dari penjelasan tersebut, dapat disederhanakan bahwa faktor yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dapat dibagi jadi faktor dari internal dan faktor eksternal.

Faktor internal ialah yang berasal dari dalam diri pemilih, seperti karena teknis dan pekerjaan. Sementara itu, faktor eksternal ialah yang dipengaruhi dari luar, seperti administratif, politik  dan sosialisasi.

Sementara itu, alasan golput sebagian besar gen Z di kampung Inggris merujuk pada faktor internal (teknis) dan faktor eksternal (administratif dan sosialisasi).

Lantas, bagaimana fenomena golput jika diukur melalui statistik pada pemilu sebelumnya?

Fenomena golput di Indonesia sendiri tentu tidak bisa terhindarkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 34,75 juta dari 192,77 juta orang yang tercatat menjadi DPT pada pemilu 2019 lalu tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah tersebut menurun 40,69% dibandingkan periode sebelumnya. Pada Pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.

PPS dan PPK Sayangkan Soal Pilihan Gen Z yang Golput

Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Rizki mengklaim ada penurunan fenomena golput di desa Tulungrejo (kampung Inggris, Pare) dari tahun ke tahun.

“Untuk menghindari golput itu jelas tidak mungkin. Jangankan para murid di Kampung Inggris, warga lokal saja masih ada yang tidak memilih dengan berbagai alasan,” tegas pria berusia 35 tahun ini tanpa memberikan data yang lebih rinci.  

Rizki juga menyayangkan jika banyak anak muda yang kemudian memilih golput dan tidak memberikan hak pilihnya. Pihaknya mengatakan bahwa sudah melakukan sosialisasi terkait cara melakukan pindah pilih, termasuk di kampung Inggris.

“Dari kantor PPS sudah memasang X banner kejelasan untuk pindah pilih. Pindah pilih dapat dilakukan dua akses. Yang pertama bisa dilakukan di daerah asal. Yang kedua bisa juga di tempat domisili sekarang, asalkan sesuai dengan regulasi,” katanya.

Rizki menjelaskan, bahwa upaya pindah pilih ini memang seharusnya tertanam pada diri masing-masing warga negara yang terdaftar pada DPT, akan tetapi berhalangan untuk memilih karena sedang berada di luar wilayah sesuai KTP.

“Jadi, kami hanya membantu pemrosesannya saja kalau ada warga yang mengurus ke kantor PPS,” tegasnya.

Saat ditanyai soal X banner yang dimaksudkan oleh ketua PPS desa Tulungrejo tersebut, beberapa murid di kampung Inggris seperti Ajeng, Wahyu, maupun Haylen mengatakan bahwa sampai saat ini tidak pernah melihatnya. Baik di wilayah lembaga kursus, maupun di jalan raya.

“Sejauh ini aku gak pernah lihat ada banner atau X banner soal pindah pilih,” ungkap Ajeng.

X banner tentang pengurusan pindah pemilih pemilu 2024 di dalam kantor PPS Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare. (Foto: Inayah)

X banner tentang pengurusan pindah pemilih pemilu 2024 di dalam kantor PPS Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare. (Foto: Inayah/kediriapik.com)

Pengamatan dan penelusuran penulis tidak menemukan X banner soal tata cara perpindahan memilih di sekitar kampung Inggris. Sarana informasi itu hanya ditemukan di dalam kantor PPS Desa Tulungrejo. Adapun X banner tersebut berisi penjelasan seputar tenggat waktu melakukan perpindahan memilih yakni 30 hari sebelum pemilu diselenggarakan (15 Januari 2024); alur pengurusan pindah memilih (dokumen dan berkas yang harus disiapkan); syarat pindah memilih; serta dokumen alat bukti pendukung alasan pindah memilih.

Syarat bagi mereka yang hendak pindah memilih untuk mengurus langsung ke Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) atau KPU Kabupaten/Kota. Soal pemilih yang dapat pindah TPS diatur dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2022.

Adapun ketentuan pindah memilih Pemilu 2024, sebagai berikut: datang langsung ke PPS, PPK atau KPU Kabupaten/Kota; bawa bukti pendukung alasan pindah misalkan karena tugas, bawa surat tugas; KPU akan memetakan TPS mana di sekitar tempat tujuan; dan terakhir pemilih diberikan bukti dari KPU berupa formulir A5 pindah memilih.

Sementara itu, pada X banner sosialisasi pindah memilih yang terpasang di Kantor PPS Desa Tulungrejo, setidaknya ada delapan hal yang bisa dijadikan alasan bagi pemilih yang hendak pindah lokasi menyalurkan suaranya. Mulai dari bertugas di tempat lain; menjalani rawat inap/mendampingi pasien rawat inap; tertimpa bencana; menjadi tahanan rutan atau lapas/menjadi narapidana; penyandang disabilitas yang dirawat di panti sosial atau panti rehabilitasi; menjalani rehabilitasi narkoba; bekerja di luar domisili; menjalani tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi; serta karena pindah domisili.

Berdasarkan syarat-syarat pindah pilih tersebut, para pelajar di Kampung Inggris Pare sudah barang tentu masuk dalam kategori menempuh tugas belajar.

Penyelenggara pemilu sudah mengidentifikasi fenomena golput karena alasan teknis dan administratif pindah lokasi memilih ini. Namun, hingga saat ini belum ada solusinya.

Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Pare, Churin Ainun Nisfa (29),  mengakuinya. “Orangnya banyak dan masa belajarnya sif-sifan (berbeda-beda periode) jadi kurang terkoordinir,” ujar Churin.

Kurang terkoordinirnya waktu sosialisasi dikarenakan periode masa belajar di kampung Inggris berbeda-beda. Mulai dari program mingguan, bulanan, sampai tahunan. “Kalau misal sosialisasi bulan ini, eh tahunya bulan depan anak-anaknya sudah tidak disini (kampung Inggris), kan percuma,” ungkap Churin.

Churin mengklaim, pihaknya sudah melakukan sosialisasi terkait pindah memilih dan daftar pemilih tambahan (DPTb). Mereka mengundang langsung ketua forum kampung bahasa (FKB). Sosialisasi tersebut sudah dimulai sejak 22 Juni 2023.

“Sosialisasi hanya mengimbau saja. Biasanya dilakukan di pasar sore lapangan Tulungrejo; terus pas car free day (CFD); waktu karnaval, dan lain-lain. Paling banyak kami lakukan pada bulan Agustus lalu karena pas banyak event,” tegasnya.

Opsi teknis perpindahan memilih secara daring tidak diambil, ungkap Churin, karena sistemnya belum. “Harus tervalidasi secara langsung orangnya. Masih butuh proses. Jadi, kalau ingin memperbaiki sistem di Indonesia, dapat dimulai dengan suara kalian (red. gen Z) di pemilu. Jadi, jangan golput,” kata Churin.

Ketua FKB: Tidak Ada Upaya Sosialisasi 

Arsyad Novel Adiyono, ketua FKB Pare, Kediri. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Arsyad Novel Adiyono, ketua FKB Pare, Kediri. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Ketua FKB Pare, Arsyad Novel Adiyono mengaku sosialisasi dari KPU soal pindah memilih tidak berjalan baik. Ada kesalahan komunikasi. Pria berusia 39 tahun ini menerima undangan ke-3 pada 9 Desember 2023 lalu. 

“Waktu saya tanya ke KPU, ternyata undangan pertama dan kedua itu diberikan kepada salah satu lembaga kursus, bukan forum. Tentu itu tidak dapat merepresentasikan keseluruhan,” tutur pria yang akrab disapa Adi itu.

Adi menambahkan, undangan yang dia terima itu terkait pembahasan DPTb bukan tata cara perpindahan memilih. Hingga proses wawancara dilakukan pada Desember 2023, tidak ada penyebaran brosur atau banner dengan informasi perpindahan memilih.

“Paling tidak ada baliho atau TPS khusus seperti di pesantren-pesantren besar, supaya murid-murid disini bisa memberikan hak pilihnya,” jelasnya.

Di kawasan Kampung Inggris itu ada 164 lembaga kursus bahasa Inggris. Saat pemilu berlangsung, pembelajaran berlangsung normal meski pemerintah menetapkan libur di hari pemilihan. Kondisi ini selalu sama setiap ada kegiatan pemilihan presiden atau kepala daerah. 

Adi menjelaskan, tempat kursus di sana merupakan lembaga non formal yang memiliki aturan sendiri. Tidak terikat dengan ketentuan hari libur dari pemerintah. Dari beberapa kali penyelenggaraan pemilu, sambung Adi, pemerintah tidak menetapkan adanya TPS khusus bagi pengajar dan pelajar yang datang dari luar Kediri di Kampung Inggris. 

“Jangankan anak belajar, pengajar juga tidak semua orang sini. Tapi karena kami tidak diberi wadah khusus untuk bisa memilih, ya mau tidak mau pada golput,” terangnya.

Ironisnya, beberapa TPS ada yang digelar di halaman lembaga kursus. “Seperti di Mahesa English Course ini karena halamannya luas, biasanya dijadikan TPS. Tapi anak-anak ya enjoy aja, tetap belajar di dalam kelas,” tutur Adi

Disclaimer: Laporan ini merupakan bagian dari program Fellowship Meliput Isu Pemilu dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan Google News Initiative

Pewarta: Rokhimatul Inayah

Tim Kediriapik
Berikutnya

Terkait Posting

Komentar