Di tengah modernisasi, perajin tampah mulai langka. Sebab anak muda lebih memilih pekerjaan lain. Salah satunya mbah Ahmad. Warga Ngasem, Kabupaten Kediri yang 55 tahun bergelut dengan tampah.
TERIKNYA matahari tak menyurutkan semangat Ahmad menuntaskan satu tampah. Tangannya yang keriput masih cekatan. Dia merangkai anyaman bambu berbentuk bulat yang menjadi dasar dengan bilahan bambu melingkar yang menjadi tepian tampah. Kakek 77 tahun ini sigap menatahkan palunya berulangkali. Jadilah satu tampah.
“Sehari bisa produksi 20 tampah. Tapi, ya dibantu anak saya,” kata mbah Ahmad, sembari menyeka keringatnya.
Tampah, peralatan dapur ini lazimnya digunakan memilah beras dari kotoran dan sisa kulit padi. Dengan semakin banyaknya bahan sintetis, perlahan tampah menjadi barang asing bagi kaum modern yang praktis.
Mbah Ahmad yang tinggal di Dusun Babakan desa Tugurejo kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri ini menjadi sedikit perajin yang bertahan di tengah arus modernisasi. ”Anak muda sekarang tidak mau. Anak saya hanya satu yang masih menggeluti usaha keluarga,” ujarnya.
Bahan baku tampah ini dari bambu Jawa. Mudah didapat di sekitar wilayah kampungnya. Tampah produksi kakek ini hanya dijual Rp5.500 per tampah kepada penjual yang masih tetangganya sendiri.
Mbah Ahmad menjadi perajin sejak tahun 1965. Dia menggeluti usaha membuat peralatan dapur dari bambu turun temurun dari orang tuanya. Dahulu, menurut Ahmad, hampir semua warga di kampungnya memproduksi peralatan dapur dari bambu. “Sekarang tiga orang yang masih bertahan menjadi perajin,” paparnya.
Keberadaan perajin tampah seperti mbah Ahmad ini mulai langka, dan terancam punah karena anak muda di desa sekarang lebih memilih pekerjaan lain.
Perajin tampah di Dusun Babakan Desa Tugurejo memilih bertahan selain karena tidak ada pekerjaan lain, juga mengisi waktu luang di usia senjanya. Tampah tradisional ini masih ada peminatnya, meski mulai surut. (AR)
Komentar