Peliknya Penghayat Sapta Darma Mengganti Kolom Agama

Komentar

Setelah puluhan tahun tak diberi ruang dalam administrasi kependudukan, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan lampu hijau bagi penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan kepercayaan yang diyakini. Sayangnya, masih banyak penghayat yang sulit untuk mengganti kolom agama dalam administrasi kependudukan.

Matahari beringsut ke ufuk barat, Senin (20/12/2021) itu, ketika Suyono mulai berkemas. Dia memasukkan kompresor, kompor dan perlengkapan tambal ban ke ruang dalam kios vulkanisir ban yang terletak di depan Rumah Sakit Bhayangkara, Kelurahan Dandangan, Kota Kediri. “Dik, mampir ke rumah saja,” kata pria 69 tahun yang akrab disapa Pak Yono ini. 

Rumah pria ini tak jauh dari tempatnya mengais nafkah sebagai tukang tambal ban. Sekitar 100 meter arah timur Rumah Sakit Bhayangkara. Pak Yono berjalan kaki. Saya mengikutinya sembari menuntun motor. Dalam hitungan menit, kami tiba di rumah Pak Yono. Di dinding ruang tamunya, selain foto Garuda Pancasila serta presiden dan wakil presiden juga terpampang foto  Sri Gutama, pendiri aliran kepercayaan Sapta Darma dan kalender Sapta Darma. 

Foto-foto itu menunjukkan jati diri Pak Yono. Dia merupakan penghayat Sapta Darma yang taat. Sudah puluhan tahun, diyakininya. Hingga kini, Pak Yono dibayangi kegundahan. Dia  belum juga dapat memasukkan aliran kepercayaan pada KTP-nya. 

Pada KTP terdahulunya, dia mengisi kolom agama Islam. Kala itu, memang tak ada pilihan aliran kepercayaan.  Namun, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97 tahun 2016 memberikan ruang sehingga aliran kepercayaan tercantum dalam administrasi kependudukan. 

Dengan antusias, Suyono mencoba mengubah kolom agama. Pada tahun 2017, dia membawa sejumlah dokumen ke kantor kelurahan. Semula perubahan KTP itu dijanjikan tuntas dalam sehari. Ternyata, pengurusannya tak kunjung selesai, meski berulang kali dia menanyakan. “Bolak balik saya ke kantor kecamatan, akhirnya KTP-nya jadi tahun 2020. Tapi, status di kolom agama tidak berubah, tetap agama Islam,” kisahnya dengan nada kecewa. 

Ternyata, masih banyak warga Sapta Darma yang belum bisa mengisikan aliran kepercayaan ke administrasi kependudukan, meski regulasi terbaru sudah memungkinkan. Sutarto, Tuntunan Wilayah Sapta Darma eks Karesidenan Kediri mengatakan, baru 147 dari 1000 lebih penghayat Sapta Darma di Kota dan Kabupaten Kediri yang mengubah kolom agamanya. “Yang mengubah masih sedikit. Entah kenapa. Banyak yang belum mengubah. Total warga Sapta Darma ada sekitar ratusan di Kediri Kota,” kata Sutarto saat ditemui di kediamannya, di Jalan Stasiun Kota Kediri pada Kamis (16/12/2021) siang.

Bermula dari Wahyu yang Diterima di Kampung Pandean

Ajaran kepercayaan Sapta Darma diterima Hardjo Sapuro di Kampung Pandean, Desa Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Hardjo Sapuro yang memiliki gelar Sri Gutomo ini menerima wahyu dalam empat tahap, dari Jumat-Sabtu, 27-28 Desember 1952 hingga  Selasa, 27 Desember 1955. “Sapta Darma ini sudah mulai besar. Pengikutnya sudah puluhan ribu. Tersebar ke beberapa negara mulai dari asia, Eropa bahkan di Amerika,” tutur Sutarto. 

Frase Sapta Darma memiliki makna; Sapta artinya 7 (tujuh), Darma adalah kewajiban suci/luhur. Penghayat meyakini Sapta Darma sebagai wewarah suci sebagai wahyu dan dhawuh dari Tuhan yang Maha Esa. “Kita yakin wewarah Sapta Darma mengandung nilai-nilai luhur,“ kata Sutarto. 

Sri Gutomo mengajukan Sapta Darma diakui negara menjadi agama. Namun,  pengajuan tersebut ditolak oleh pemerintah. Akhirnya, kelompok penghayat Sapta Darma memilih dalam bentuk aliran kebatinan Kerohanian Sapto Darma (KSD) yang sebagai agama budaya bangsa. 

Sidang MPR tahun 1978 menetapkan Tap MPR Nomor IV/1978 yang memutuskan aliran kepercayaan tidak termasuk kategori agama. Setelah penetapan tersebut, aliran kepercayaan menjadi kelompok minoritas yang rentan diskriminasi. 

Bahkan, kala itu, muncul pandangan baru di masyarakat yang menganggap mereka tidak memiliki agama. Namun, hal ini ditepis oleh Ki Sutarto. “Secara umum penghayat ya beragama, masyarakat kalo ngomong tidak baik berarti belum paham,”katanya. 

Diskriminasi negara terhadap penghayat paling nyata pada administrasi kependudukan. Tak ada opsi untuk aliran kepercayaan pada administrasi kependudukan.  Mau tidak mau penghayat Sapta Darma mengisi satu dari lima agama yang tersedia. Namun, ada juga yang memilih untuk mengosongkan kolom agama saat pengisian data administrasi kependudukan.

“Sebelum adanya putusan MK, orang yang tidak menganut agama yang terdaftar, KTP-nya disetrip. Lah, kita kan bikin KTP ada kolom. Ya diisi dong,” ujar Noviana Rahmawati, Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Kediri, Rabu (22/12/2021).

MK Beri Lampu Hijau, Banyak Penghayat Belum Ubah Kolom Agama

Uji materi sejumlah pasal dalam UU nomor 23 tahun 2006 diajukan penghayat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28 September 2016. Penggugat antara lain; Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Paralim), Arnol Purba (penganut Ugamo Bangsa Batak) dan Carlim (penganut Sapto Darmo). 

Uji materi ini meliputi Pasal 61 ayat (1) dan (2) dan 64 ayat (1) dan (2) UU nomor 23 tahun 2006 yang dinilai penggugat bertentangan dengan UUD 1945. Penggugat keberatan penghayat kepercayaan tidak terakomodir dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) karena tak ada opsi penghayat dalam kolom agama di Kartu Keluarga. Penggugat juga keberatan dengan pasal 64 ayat (1) dan (2) yang memberikan ruang bagi penghayat untuk mengisi kolom agama pada KTP-nya. 

Berdasarkan gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 97 tahun 2016 pada  7 November 2017, pukul 09.00 WIB.MK mengabulkan seluruh gugatan tersebut. Pemeluk aliran kepercayaan diberikan ruang untuk mengisi kolom agama sesuai dengan keyakinannya.

Menindaklanjuti putusan MK, Pemerintah dan DPR menetapkan UU nomor 24 tahun 2013 sebagai revisi Undang-Undang  nomor 23 tahun 2006. Dalam Pasal 58 ayat (2)  UU nomor 24 tahun 2013, penghayat bisa mengisi kolom agamanya dengan ‘Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau sesuai dengan keyakinannya.

Angin segar bagi para penghayat. Dengan adanya aturan baru, seharusnya mudah bagi penghayat menegaskan identitas keyakinannya pada administrasi kependudukan. Namun, di Kota Kediri masih sedikit penghayat yang mengubah kolom agamanya.

Data administrasi kependudukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Kediri tahun 2021, ada 30 pemeluk aliran kepercayaan. Mereka tersebar di 3 kecamatan;  6 orang di Kecamatan Mojoroto, 14 orang di Kecamatan Kota dan 10 orang di Kecamatan Pesantren. 

Jumlah penghayat yang terdata administrasi kependudukannya sangat minim jika dibandingkan keseluruhan penghayat di Kota Kediri yang mencapai ratusan. Memang, belum ada data resmi berapa jumlah riil penghayat di Kota Kediri. Khusus penghayat Sapta Darma, Sutarto memperkirakan seratus orang lebih. 

Banyak faktor yang melatarbelakangi penghayat tak segera mengurus perubahan kolom agama pada administrasi kependudukannya. Penelusuran Lp2mcorong.ac.id menemukan setidaknya dua faktor. Pertama, ada penghayat yang ingin mengubah kolom agama tapi tertahan di kelurahan. Kedua, warga Sapta Darma yang enggan mengurus perubahan kolom agama. 

Contoh pertama adalah Pak Yono, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan. Wati juga mengalami hal serupa. Dia empat tahun mencoba mengganti kolom agama dengan aliran kepercayaan, namun tak kunjung terealisasi. “Itu bukan saya saja yang kesusahan mengurus perubahan kolom agama. Ada sekitar 20 warga penghayat yang belum mengubah di Kota Kediri,” ungkap pemilik usaha catering asal Kelurahan Pakunden ini.

Lalu,  penghayat yang memang enggan mengubah kolom agama karena pertimbangan sosial, seperti Lagiono Santoso, penghayat Sapta Darma asal Kelurahan Dandangan. “Saya sudah nyaman di KTP ditulis Islam mas. Kalau diganti nggak enak sama warga sekitar. Tempat sekitar saya banyak muslimnya,” ungkapnya.

Dampak dari Diskriminasi Bertahun-tahun

Kendala yang dialami oleh warga Sapta Darma untuk mengurusi perubahan kolom agama itu merupakan dampak dari diskriminasi bertahun-tahun. Hal itu, menurut Akhol Firdaus, Direktur Institute For Javanese Islam Research (IJIR) dilandasi sejumlah faktor. Mulai dari inklusi masyarakat, SDM tingkat kelurahan yang belum mengerti. “Pusat sudah selesai, namun tingkat kecamatan dan kelurahan masih belum selesai, bahkan menyisakan problem sendiri,” ujar Akhol Firdaus.

Staf pengajar Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung menekankan perlunya sosialisasi hingga tingkat kelurahan, sehingga aparat tak membatasi hak penghayat untuk mencantumkan keyakinannya dalam administrasi kependudukan. 

Namun, Noviana Rahmawati, Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dispenduk Capil Kota Kediri menepis jika pihaknya kurang sosialisasi. Setelah putusan MK nomor 97 tahun 2016 disusul penetapan UU nomor 24 tahun 2013, Dispenduk Capil Kota Kediri intens melakukan sosialisasi. “Kami langsung tanggap atas putusan tersebut. Mulai berbenah website, sosialisasi dua kali setahun dan mengirim satu agenda di setiap kelurahan untuk bersosialisasi,” paparnya.

Kenapa masih ada warga Sapta Darma yang belum bisa mengubah kolom agama di kelurahan? Novi mengatakan, Dispenduk Capil Kota Kediri tidak punya wewenang terkait warga yang mengurus KTP di kelurahan. “Salahe ngurus di kelurahan, Dispenduk tidak ada wewenang masuk ke kelurahan, Dik,” jawabnya.

Novi meminta warga penghayat yang ingin mengubah kolom agama, agar memproses di kantor Dispenduk Capil Kota Kediri. “Saya berharap warga penghayat memproses KTP-nya di Dispenduk Capil, pelayananya gratis kok. Dan perangkat kelurahan aktiflah mensosialisasikan kepada warganya,” ungkapnya.

Putusan MK nomor 97/2016 memang menjadi momentum bersejarah bagi penghayat, meski realisasinya masih terkendala di birokrasi tingkat bawah. “Adanya putusan MK sangat progresif. Terutama dalam kebebasan berkeyakinan di kolom KTP,” ungkap Akhol Firdaus.

Putusan MK yang bertujuan untuk kebebasan berkeyakinan dan kebebasan agama masuk dalam sipil politik. Seharusnya kebebasan agama tidak perlu mendapatkan rekognisi negara. “Tugas negara tidak perlu meregulasi kebebasan. Dan negara harus pasif melindungi kelompok minoritas dan harus bersifat pasif,” paparnya. 

Akhol berharap penerapan regulasi lama. Sebelum tahun 70-an, dalam KTP tidak tercantum kolom agama. Sebab, kebijakan dan regulasi memunculkan problem baru. “Sama halnya di paspor, tidak ada kolom agama. Jadi semua kebijakan tidak perlu memperhatikan kolom agamanya,” katanya. 

Sosialisasi UU nomor 24/2013 serta aturan turunannya mestinya digencarkan, sehingga birokrasi sampai tingkat terbawah memahami aturan UU administrasi kependudukan secara utuh. Jangan sampai kurangnya pemahaman itu sampai merenggut hak asasi manusia para penghayat. Sebab, berkeyakinan termasuk dalam kategori hak sipil dan politik. Tugas negara seharusnya pasif menghormati, melindungi dan memenuhi.

 

Tim Kediriapik

Komentar