Terdapat dua pusaka Bung Karno yang tersimpan di Situs nDalem Pojok, yakni tombak Kiai Gadakan dan keris Sengkelat. Dari mana asal usulnya?
SETIAP bulan Syuro, tombak Kiai Gadakan dan keris Sengkelat, dua pusaka Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno ini dijamas. Tahun ini, jamasan kembali digelar. Tepatnya, Jum’at Pahing 17 Suro 1445/04 Agustus 2023 di halaman Situs Ndalem Pojok Desa Pojok Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
Dua pusaka ini mengandung nilai sejarah. Presiden Soekarno mendapatkan pusaka itu dari kepala desa di Grobogan Jawa Tengah. Tahun 1947, Bung Karno menggelar kunjungan ke Grobogan didampingi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan RM Sajid Soemodihardjo. Kemudian Presiden Soekarno meminta untuk disimpan di nDalem Pojok yang merupakan rumah dari RM Sajid.
“Kami sendiri tidak tahu mengapa harus disimpan disini,” ujar RM Kuswartono, Ketua Yayasan Pandji Saputro Ndalem Pojok yang juga cucu dari RM RM Sajid Soemodihardjo.
Kenapa diberikan kepada Bung Karno? Menurut Kuswartono, pada saat itu, kepala desa tahu jika Bung Karno memanglah pemimpin negeri yang pantas menerima keris dan tombak tersebut.
Keris Sengkelat diperkirakan buatan Empu Supo Mandrangi yang hidup di abad 15 tepatnya pada zaman kerajaan Brawijaya. “Keris Kyai Sengkelat ini memang harus dimiliki oleh raja di zaman dahulu. Zaman dulu Empu Supo membuat Keris Kyai Sengkelat untuk dipegang raja Brawijaya untuk menumpas pemberontakan,” kata Andri pecinta keris asal Blitar.
Prosesi Jamasan Pusaka
Jamasan pusaka tak serta merta bisa dilakukan. Perlu persiapan panjang sebelumnya. Sekitar sepekan sebelum pelaksanaan jamasan, sudah ada persiapan.
“Pertama, kita telah melakukan ritual pelepasan warangka, baju pusaka. Kemudian setelah dilepas, pusaka direndam selama tiga hari sampai satu Minggu,” tutur Kushartono, Ketua Harian Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno Kediri.
Selama direndam, dua pusaka Presiden Soekarno yang bernama Kiai Gadakan ini direndam dengan air campuran buah mengkudu, serta digosok memakai jeruk nipis.
Lalu setelah dicuci bersih, pusaka dibilas menggunakan air kembang setaman kemudian dijemur.
Selanjutnya diolesi dengan warangan, setelah itu dicuci lagi menggunakan air pronojiwo, baru kemudian dibaluri dengan minyak khusus.
“Minyak khusus ini terbuat kelapa gading, tapi pembuatnya haruslah orang tua atau nenek-nenek yang sudah tidak menstruasi,” terang Kus.
Setelah diberi minyak ini baru kita lakukan ujuban dan didoakan melalui slametan dengan mengundang tetangga sekitar khusus yang sudah tua dan terakhir jamasan.
Ritual Jamasan dilakukan bersama M.Ng.Erwan Yudiono Hadi Projo pengurus komunitas Pelestari Sejarah Budaya Kadhiri. Jamasan pusaka juga menggunakan sesaji yang beraneka ragam.
“Untuk jamasan ada cok bakal, kembang setaman, kembang tiga warna, kembang panca warna. Ada wayang, bendera Sang Merah Putih juga payung pusaka. Selain itu, ada air yang diambil dari tujuh mata air. Sumber Sugih Waras, Sumber Centong, Sumber Ubalan, Sumber Kwak, Sumber Jumprit, Sumur Ndalem Pojok hingga Sumber di Gunung Padang Jawa Barat,” terang Erwan Yudiono.
Bagi Ndalem Pojok, prosesi Jamasan Pusaka itu mengandung unsur pendidikan kebangsaan. “Bagi kami pusaka itu adalah simbol. Simbol jati diri, kemuliaan, dan keluhuran budi bangsa Indonesia. Dan kemuliaan itu harus dijaga, jangan dikotori. Untuk itu pada waktunya harus ada proses penyucian, makanya puasa,” tambah Kushartono.
Untuk itu, dia berharap pusaka harus benar-benar dirawat agar bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya. Para pendahulu pernah berwasiat bahwa pusaka yang paling sakti, bukanlah tombak, pedang ataupun keris, tapi jati diri. (*)
Komentar