Pandemi Covid-19 tampaknya menjadi ujian yang sempurna bagi pasangan suami-istri. Angka perceraian di Kabupaten Kediri tinggi. Konflik dalam rumah tangga yang dipicu oleh masalah ekonomi menjadi faktor paling dominan.
TAK terlintas dalam pikiran Dina (nama samaran) untuk berpisah dengan suaminya. Janji suci yang diikrarkan di depan penghulu, tiga tahun silam berakhir di meja persidangan. Dina resmi menjanda, usai majelis hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri mengetuk palu tanda putusan.
“Suamiku tak tukarkan kertas, mas,” kata Dina pada kediriapik.com, awal Agustus 2021 lalu.
Meskipun menjadi single parent, tetapi tak tampak ada rasa kesedihan di wajah Dina. Yang ada justru kebahagiaan wanita berkulit sawo matang ini.
“Sekarang aku sudah merasa lega mas. Buat apa dipertahankan. Orangnya lho sembrono. Ada atau tidak ada dia, rasanya sama. Saya sudah biasa ditinggalkan,” sambung Dina dalam curhatnya.
Dina menikah dengan pria pacarnya, pada 2018 lalu. Lelaki itu adalah tetangganya sendiri di Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri.
Tak lama setelah menikah, wanita 29 tahun itu dikaruniai kehamilan. Tetapi, karena tuntutan ekonomi, sang suami tidak bisa menemani semasa Dina mengandung.
Suami Dina memiliki keahlian di bidang otomotif. Ketrampilan tersebut ia dapat dari bangku sekolah dan ditunjang oleh bakat alami. Lalu, atas ajakan kerabatnya untuk mengadu nasib, dia kemudian pergi merantau ke Irian Jaya. Di sana dia bekerja pada sebuah bengkel motor.
“Biasanya satu tahun sekali baru bisa pulang. Pada saat anaknya lahir, dia juga pulang. Tinggal di rumah sekitar satu tahunan. Sampai anaknya cukup besar. Kemudian dia kembali lagi merantau,” sambung Dina.
Pada mulanya memang tidak ada persoalan dalam hubungan LDR tersebut. Dina menyadari pekerjaan suaminya di tempat yang jauh, semata-mata untuk kebahagiaanya dan juga anaknya. Dari pernikahan tersebut, Dina dikaruniai anak perempuan yang cantik sepertinya.
Akan tetapi, satu tahun terakhir, mulai muncul riak-riak kecil dalam biduk rumah tangga pasangan muda ini. Kebiasaan baru bermain game online dari sang suami menjadi salah satu pemicunya. Suami Dina menjadi penggemar judi online.
“Dia terpengaruh teman untuk bermain game online. Semula masih saya memberi toleransi. Sebab, dia memang orang bengkel dan terbiasa dengan balapan motor dan taruhan. Namun, semakin kesini, tampaknya semakin tidak karu-karuan,” tambah Dian dengan nada kecewa.
Semakin hari, suami Dina kian tergila-gila dengan game online. Penghasilan dari kerja pun diyakini Dian habis untuk berjudi. Sudah barang tentu, sejak menggilai dunia judi, Dina tidak pernah dinafkahi. Padahal, anaknya yang masih berumur dua tahun, membutuhkan susu untuk kelangsungan hidupnya.
Pemberlakuan PPKM Covid-19 memang memaksa suami Dina untuk menjadi pengangguran. Sang suami tidak bisa kembali merantau, akibat adanya pembatasan perjalanan. Bukannya mencari pekerjaan baru, sang suami malah semakin terjerumus pada perjudian dan terjerat hutang untuk taruhan.
“Semakin ngawur mas. Selain saya sudah tidak dinafkahi, motornya digadaikan, motor saya juga digadaikan. Mungkin karena takut, dengan alasan tertentu dia jarang pulang. Saya sudah berusaha menutupi kesalahannya kepada ayah-ibuku, tetapi dia tidak mau sadar, ” beber Dina.
Merasa sudah tidak tahan dengan kelakuan suaminya, akhirnya Dina pun memilih untuk menggugat cerai. Tentunya, Dina sudah berfikir panjang dan menimbang semua keputusannya itu. Baginya, kesalahan suami sudah tidak dapat ia maafkan.
“Sering kali saya malu karena ditagih hutang sana-sini. Selain milik saya, motor milik orang lain juga digadaikannya. Semua larinya ke aku,” keluhannya.
Kini Dina sudah resmi menyandang status sebagai janda. Dia harus berjuang untuk kehidupannya dan buah hatinya.
Perceraian Didominasi Faktor Ekonomi
Dina tidak sendiri. Pada saat pagebluk Covid-19, ada ribuan wanita di Kabupaten Kediri yang menggugat cerai suaminya.
Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Kediri mencatat ada 3.624 kasus pada tahun 2020, didominasi gugatan cerai istri pada suaminya.
Drs. Munasik, MH, Humas Pengadilan Agama Kabupaten Kediri mengungkapkan, ada sejumlah faktor yang melandasi gugatan cerai tersebut. Paling tinggi karena pengaruh faktor ekonomi. Kemudian, karena adanya orang ketiga atau perselingkuhan, meninggalkan satu pihak atau pasangan kabur, kawin paksa serta sering kali perjudian dan mabuk-mabukan.
“Pada saat pandemi Covid-19 ini trend perceraian tetap tinggi. Sebulan bisa mencapai 350 kasus. Kemudian ada fenomena latar belakang ekonomi. Banyak istri yang menggugat cerai karena kurang dinafkahi,” kata Drs. Munasik ditemui di Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, Jumat 13 Agustus 2021.
Lebih rinci, Munasik menyebut faktor ekonomi di tahun 2020 memang cukup tinggi yaitu, mencapai 2.609 kasus. Sedangkan untuk faktor perselingkuhan 549 kasus dan meninggalkan satu pihak 332 kasus. “Gugatan cerai yang diajukan istri lebih tinggi dibanding talak cerai yang diajukan suami,” jlentrehnya.
Tidak hanya kasus perceraian, sambung Munasik, pembagian hak waris dan penetapan ahli waris juga tinggi di masa pandemi ini. Dari hasil asasment terhadap pemohon, masalah ekonomi tetap menjadi faktor paling dominan.
“Banyak yang konsultasi sebelum daftar. Saya tanya. Ternyata jawabnya, dulu adil, sekarang tidak adil. Masa pandemi ini atau bahasanya paceklik. Ekonomi memicu pertikaian diantara keluarga, sehingga menjadi berebut hak waris,” tandasnya.
Sejak pandemi melanda, Pengadilan Agama Kabupaten Kediri melakukan berbagai penyesuaian dalam SOP pelayanan dan persidangan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona di lingkungan pengadilan agama.
“Kami luncurkan program persidangan online dan e-court. Masyarakat tidak perlu datang kesini dalam mendaftar. Sehingga bisa mencegah penyebaran Covid-19,” tandas Munasik.
Hanya saja, sambung Munasik, hambatan dari penerapan sistem elektronik tersebut karena masih banyak masyarakat awam yang belum melek IT. Biasanya, hanya pemohon yang menggunakan jasa advokad yang memanfaatkan fasilitas tersebut.
“Tidak semua masyarakat melek IT. Yang menggunakan biasanya itu yang pakai pengacara. Namun, yang langsung datang kemarin, biasanya orang kampung yang belum tau memanfaatkan pelayanan online,” jelasnya.
Selain sistem online, kebijakan lain berupa pembatasan pengajuan perkara. Satu hanya hanya dibatasi 10 kasus. Hal lainnya adalah protokol kesehatan mulai dari masuk gerbang Kantor Pengadilan Agama hingga di ruang pelayanan, maupun persidangan. (nanang/ds).
Komentar