Legenda Gunung Kelud, Cinta Tak Terbalas Jathasura

Komentar

Kisah legenda Gunung Kelud. Di dalam sumur puncak Kampud (Kelud),  Jathasura yang tertimbun batu-batu besar mengeluarkan kutukan. 

kediriapik.com – Pada suatu masa, hiduplah seorang sakti bernama Ki Buto Locaya. Beliau memiliki 2 anak: Jaka Ladra dan Singa Ladra. Kedua anak ini dididik langsung oleh Ki Buta Locaya. Pada usia muda, kesaktian-kesaktian Ki Buta Locaya ini diwariskan kepada mereka. Masing-masing anak Ki Buta Locaya mewarisi ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian; Andaka Kurda dan Maesa Amuk. 

Suatu ketika, Ki Buta Locaya mendapatkan tugas mendampingi Narotama, Patih Raja Airlangga untuk membangun kembali Kerajaan Kahuripan setelah diserang Kerajaan Glang-glang dari Selatan. 

Kepergian Ki Buta Locaya membawa dampak besar terhadap Jaka Ladra dan Singa Ladra. Kedua anak ini tumbuh tanpa pengawasan sehingga terjerumus pada perbuatan-perbuatan onar di wilayahnya. Karena kesaktian yang tiada tanding mengakibatkan masyarakat resah dan ketakutan hingga akhirnya berita ini sampai pada Raja Airlangga. 

Airlangga yang tidak mengetahui secara pasti tentang dua orang pembuat onar ini mengutus Ki Buta Locaya menyelesaikan masalah ini. Ki Buta Locaya turun tangan menyelidiki. Alangkah terkejutnya, ketika mengetahui para pembuat onar ini anak-anaknya sendiri. 

Kemarahan Ki Buta Locaya memuncak dan disabdalah kedua anaknya ini menjadi seorang yang mirip seekor harimau dan seekor kerbau. Kemudian Ki Buta Locaya memerintahkan keduanya untuk tidak tinggal di Kahuripan dan diminta pergi bertapa ke arah barat. 

Perintah Ki Buta Locaya dilaksanakan keduanya hingga mereka mendapatkan tempat yang kemudian diberi nama Bandarangin. Di tempat baru ini Jaka Ladra mengubah namanya menjadi Mahesasura dan Singa Ladra mengubah namanya menjadi Jathasura. Keduanya menjadi penguasa di wilayah Bandarangin. 

Di Kahuripan kehidupan sudah mulai tertata dengan baik, masyarakat hidup damai dan sejahtera dan telah memiliki ibukota megah di Dahana Pura. 

Airlangga, sang raja Keraton Kahuripan memiliki tiga orang anak dengan sulungnya seorang putri mahkota jelita yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi (yang pada masa kemudian bergelar Kilisuci) serta dua orang adiknya yang bernama Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. 

Karena kedudukannya sebagai Putri Mahkota maka Sanggramawijaya Tunggadewi harus memiliki pendamping hidup yang sepadan, maka diadakanlah sayembara kepada raja-raja di nusantara, berolah ilmu kanuragan untuk dapat mempersuntingnya. Berita sayembara ini sampai ke telinga Mahesasura, sang penguasa Bandarangin sehingga ia mengutus Jathasura, adiknya untuk mengikuti sayembara sekaligus membawa pulang Sanggramawijaya Tunggadewi ke Bandarangin untuknya. 

Sayembara ini kemudian dimenangkan oleh Jathasura, namun ketika ia melihat kecantikan Sanggramawijaya Tunggadewi, timbullah niatnya untuk mempersuntingnya sendiri hingga ia berani melawan kakaknya dan membunuhnya. 

Setelah Mahesasura terbunuh, Jathasura bersiap menjemput Sanggramawijaya Tunggadewi di Dahana Pura untuk dibawa ke Bandarangin. Namun Sanggramawijaya Tunggadewi yang telah mengetahui sepak terjang Jathasura mengajukan persyaratan atas kesaktian yang dimiliki Jathasura, yaitu dengan meminta untuk dibuatkan sebuah sumur di Kampud hingga keluar air jernih dari dalamnya. 

Pekerjaan ini harus diselesaikan sebelum fajar menyingsing. Persyaratan ini dipenuhi oleh Jathasura yang segera bergegas membuat sumur ditempat tersebut. Lepas tengah malam, Sanggramawijaya Tunggadewi beserta Patih Pujanggeleng yang diiringi prajurit-prajurit Dahana Pura berniat melihat proses pembuatan sumur tersebut. Patih Pujanggeleng berinisiatif memerintahkan para prajuritnya untuk mempersenjatai diri dengan dedaunan serta tombak yang terbuat dari batang pohon kelor yang diruncingkan ujungnya. 

Jathasura yang mengetahui kehadiran Sanggramawijaya Tunggadewi segera naik ke permukaan dan ketika Jathasura hampir sampai di atas, Patih Pujanggeleng menjatuhkan boneka perempuan (bhs.Jawa=golekan) kedalam sumur, Jathasura kaget dan mengira boneka tersebut adalah Sanggramawijaya Tunggadewi yang terjatuh, sehingga disusullah kembali kebawah. 

Kondisi lengah Jathasura ini dimanfaatkan oleh Patih Pujanggeleng untuk menyerangnya dengan daun kelor dan menghujaninya dengan tombak-tombak batang kelor, sedangkan sebagian prajurit lainnya menimbunnya dengan batu-batu besar diatasnya. 

Jathasura terluka oleh tombak-tombak bertuah itu dan segera menyadari bahwa dia telah tertipu. Malang tak bisa ditolak, untung tak dapat diraih, sebelum ajal dan dalam kondisi sekarat, Jatha Sura sempat mengucapkan sesumbar : 

“Yoh, Wong Kadiri…
mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping….
Yaiku; Kadiri bakal dadi kali, Blitar bakal dadi latar, Tulungagung bakal dadi kedung…”

Berakar dari legenda inilah masyarakat di Lereng Gunung Kelud melakukan kegiatan Ritual Sesaji Gunung Kelud yang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat Kediri dalam menyelaraskan diri terhadap alam semesta dan sebagai wujud rasa syukur atas kesuburan tanah kelud sekaligus sebagai media memohonkan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa terhadap ancaman bencana yang ditimbulkan oleh Gunung Kelud.

sumber : Buku Legenda Rakyat Kediri (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri)

Tim Kediriapik
Berikutnya

Terkait Posting

Komentar