Perkumpulan Disabilitas Kabupaten Kediri dan Australia Global Alumni menggelar diskusi tematik ‘Layanan Publik Inklusif Menuju Kediri Inklusi’ di Kampung Korea Fantasy, di Desa Manggis, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Selasa (30/8/2022), siang. – kediriapik.com
“Bagaimana upaya dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kediri, supaya tempat wisata bisa diakses, semisal membuat peraturan pembangunan tempat wisata yang inklusi,” kata Ny Sutinah, penyandang disabilitas dari Ngancar, Kabupaten Kediri.
Pertanyaan itu disampaikan oleh Sutinah pada Sabilarosad, Kepala Bidang Pengembangan Dinas Pariwisata Kabupaten Kediri. Selain penyandang disabilitas, acara ini juga dihadiri undangan dari sejumlah instansi, pemerintah desa dan pemerintah kecamatan.
Rosad mengaku, Dinas Pariwisata banyak menerima masukan positif dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh PDKK. Dia mengusulkan agar ada rapat koordinasi di tingkat kabupaten. Penerapan fasilitas publik yang inklusi harus melibatkan berbagai instansi.
“Jadi, harus ketemu bersama, Bappeda, PUPR, Pariwisata, Dinas Perdagangan. Betul-betul terpadu, jadi bisa terwujud Kabupaten Kediri Inklusi 2030,” katanya.
Sementara itu, Camat Ngancar Ny Elok Etika menyatakan, masukan dari PDKK untuk mewujudkan wisata yang inklusi ini sangat bermanfaat. Karena itu, Elok mendukung program wisata dan fasilitas publik yang inklusi, terlebih jika regulasinya sudah di-breakdown dan Perdanya sudah didok, sehingga pengambil kebijakan lebih leluasa untuk mengawal regulasi ini.
Ny Elok Etika juga akan mendiskusikan perihal wisata inklusi dengan pengelola wisata di Ngancar. Menurut Elok, sektor pariwisata sudah mulai beraktifitas setelah sempat tutup hampir dua tahun karena pandemi Covid-19. Namun, tingkat kunjungan belum sepenuhnya pulih, sebagaimana sebelum pandemi, karena itu perlu dicari solusinya. “Bagaimana agar bisa bersinar lagi ini, bagaimana?” tambahnya.
Fasilitas Publik Inklusi Amanat Undang-Undang
Sementara itu, Ketua PDKK Umi Salamah mengatakan, fasilitas publik termasuk lokasi wisata harus ramah disabilitas. Tak hanya lokasi-lokasi yang bisa diakses oleh kursi roda, namun tempat wisata juga harus menyediakan pemandu wisata yang memahami bahasa isyarat sehingga dapat memandu penyandang disabilitas tuna rungu.
Termasuk produk film yang dilaunching di publik juga harus bersifat inklusi sehingga menjadi hiburan yang juga dinikmati oleh semua kalangan termasuk penyandang disabilitas. Karena itu, menurut Umi, film-film Indonesia seharusnya diberi subtittle bahasa Indonesianya, kalau tidak ada juru bicara isyaratnya.
Umi Salamah berharap agar Perda Perlindungan Disabilitas bisa terwujud, sehingga ada payung hukum yang lebih konkret sesuai lokalitas. Sebenarnya, pemerintah sudah bisa menerapkan fasilitas publik yang inklusi, karena regulasinya sudah tersedia.
“Sebenarnya, sudah ada Undang-Undang untuk perlindungan disabilitas, sehingga dapat diterapkan. Tapi, Perda bisa mengatur secara teknis,” tambahnya.
Hanya sedikit sekali fasilitas publik di Indonesia yang berpihak pada penyandang disabilitas. Padahal, tertuang dalam Undang Undang nomor 8/2016 perihal hak-hak disabilitas. Salah satunya pasal 18, bahwa penyandang disabilitas memiliki hak aksesibilitas:
Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; b. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk Aksesibilitas bagi individu.”
Realitasnya, penerapan UU 8/2016 jauh panggang dari api. Negara masih belum merealisasikan regulasi yang mereka tetapkan. (danu)
Komentar